Masuk Nominasi Film Pilihan Tempo, Film Preman Kisahkan Sandi Si Pembaca Bibir

Film Pilihan Tempo hadir kembali. Film Pilihan Tempo ini merupakan upaya Tempo untuk mengapresiasi karya seni peran dan para sineas lewat sejumlah kategori. Mulai dari film, sutradara, naskah, aktor, artis, serta aktor dan aktris pendukung pilihan Tempo.

Redaksi Tempo sendiri tak meminta para produser untuk mendaftarkan filmnya. Melainkan, Tempo yang aktif merangkum film yang tayang dalam setahun terakhir. Baik itu yang tayang di bioskop komersial, festival film dalam dan luar negeri, maupun di layanan menonton streaming. “Jumlah nominasinya tidak kami patok, karena menyesuaikan diskusi di ruang penjurian yang tahun ini berlangsung daring karena pandemi,” kata salah satu juri dari Redaksi Tempo, Nurdin Kalim pada pertengahan Desember 2021.

Dari puluhan film yang diseleksi, ada 5 film yang masuk nominasi Film Pilihan Tempo, salah satu film yang masuk nominasi adalah Film Preman. Bagi yang penasaran, simak sinopsis film karya Randolph Zaini ini.

Dia bernama Sandi. Ia tak mempunyai suara, tak memiliki pendengaran, bahkan isteri pun sudah meninggalkannya. Satu-satunya makhluk yang setia melekat kepadanya hanyalah si kecil Pandu (Muzakki Ramdhan), putra tunggalnya yang sudah jauh lebih dewasa daripada usianya.

Sehari-hari, hidup di alamnya yang sunyi, Sandi memahami peristiwa di dunia ‘biasa’ melalui gerak bibir atau gerak tubuh. Seperti apa yang terjadi pada pembukaan film “Preman” karya debut Randolph Zaini, kita melihat sosok Sandi yang berjalan diiringi musik western cowboy, menuju lapangan untuk menyaksikan Pak Guru beraksi.

Yang disebut “Pak Guru” (Kiki Narendra) adalah bos gerombolam preman “Perkasa”, demikian mereka menamakan dirinya. Sandi hanya bisa membaca bibir Pak Guru yang berceloteh di atas panggung -kemungkinan soal pembebasan tanah- yang disambut dengan gegap gempita oleh anggota gerombolan berseragam oranye yang ‘diasuhnya’.

Di pojok Jakarta, Sandi (diperankan dengan baik oleh Khiva Isak) adalah bagian dari gerombolan preman yang saat itu mendapat ‘order” menggusur penduduk Desa Cipalon. Tetapi Sandi sekaligus bukan bagian dari gerombolan itu. Paling tidak hatinya tercecer ke mana-mana, karena dia tak selalu setuju dengan order-order yang diperintahkan kepadanya. Selain itu, Sandi masih mempunyai sisa-sisa cita-cita berkumpul kembali dengan istri dan anaknya.

Maka perintah untuk menggusur Pak Haji (juga dimainkan dengan baik oleh Egy Fedly) dilakukannya dengan keengganan yang terpancar dari mata Sandi. Pak Haji mencoba bertahan dengan tegas dan penuh harkat. Tetapi Pak Guru -yang menjadi alat pengusaha yang mengerikan Hanung- adalah sosok yang keji. Korban penggusuranpun berjatuhan bukan saja mereka yang mencoba bertahan di rumah, tetapi jadi merembet ke mana-mana, termasuk orang-orang terdekat Sandi. Akhirnya kisah film ini bukan lagi pertarungan antara pengusaha/preman versus rakyat, melainkan pengusaha/preman versus anggota preman yang memberontak.

Klise? Tidak. Memang ini bukan ide baru. Tentu, tentu kita sudah menemui plot semacam ini di dalam film-film internasional. Tak perlu jauh-jauh ke Hollywood, banyak sekali film India yang ratusan kali mengunyah tema ini saking banyaknya politisi, perangkat keamanan, dan peradilan yang bersekutu. Film klasik “Gangs of Wasseypur” (Pertama dan Kedua) karya Anurag Kashyap tentu saja tontonan wajib bagi mereka yang gemar menyaksikan tarik-menarik intrik antar-geng (Film yang ditayangkan di 2012 Cannes Directors’ Fortnight, dan 2019 lalu masuk dalam 100 Film terbaik versi The Guardian).

Zaini mungkin belum mencapai kesempurnaan dan kedahsyatan “Gangs of Wasseypur”. Namun Zaini mengetahui kisah pengkhianatan atau perlawanan di dalam geng selalu asyik menjadi cerita.

Lalu mengapa film ini tetap penting dan menarik, meski jalan ceritanya tidak orisinal? Pertama, sutradara dan penulis skenario Randolph Zaini memadukan drama, laga, dan humor hitam sekaligus dengan porsi yang pas. Ada drama ayah dan anak, ada percekcokan suami istri. Yang terpenting adalah cerita psikologi Sandi, si tokoh utama yang merasa tidak pernah tepat di manapun dia berada, sehingga terjadilah serangkaian peristiwa berdarah.

Ada serangkaian adegan laga dengan koreografi yang tepat sesuai cerita (preman lawan preman) yang tentu saja sudah dimulai dari kesuksesan “The Raid” (Gareth Evans, 2011) yang menghidupkan kembali penonton dan sineas film laga Indonesia. Keistimewaan lain, Zaini menciptakan protagonis seperti Sandi yang tunarungu wicara yang tampaknya mengembakan inderanya yang keenam dengan prima. Dia juga sangat dahsyat dalam pertarungan fisik hingga si pembunuh bayaran Ramon takjub dengan metode yang digunakan Sandi. Semua elemen tersebut menambah kompleksitas kehidupan pribadi Sandi.

Keistimewaan lain: Zaini mengarahkan pemain dengan baik. Semua pemain terasa seolah ada di dalam elemennya. Khiva Isak, Kiki Narendra, Muzakki Ramdhan tampil bagus. Bahkan tokoh pendukung seperti Paul (Paul Agusta) dan Bang Bang (Emil Kusumo) dua anggota preman Perkasa tampil kocak.

Tokoh Ramon (Revaldo) sebetulnya menarik, meski tak mudah untuk tak mengingat gaya Quentin Tarantino yang sering menampilkan tokoh-tokoh yang banyak bicara dan kenes, sebelum akhirnya si pembunuh beraksi menghabiskan nyawa orang. Tokoh ganjil macam Ramon yang disebut si “Tukang Cukur” -karena jago ‘mencukur” nyawa orang- tetap penting untuk mempertebal kesan ‘jagat dongeng’ ciptaan Zaini. Segala yang diceritakan dalam film ini adalah kisah nyata sekaligus sebuah mimpi buruk bagi peradaban.

Untuk sebuah debut, Randolph Zaini telah melakukan langkah awal yang menjanjikan. Tahun 2021 ternyata adalah tahun lahirnya para sineas baru yang menjanjikan sinar optimisme dalam perfilman Indonesia.

Leila S.Chudori

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *